It's me and only me

All of stories,experiences and simphony will be posted here.

Sejarah Abdya

Memahami asal-usul penduduk yang mendiami pantai Barat Daya Aceh, mulai dari ujung Manggeng hingga Ujong Raja sampai saat ini masih mengandalkan sumber lisan dan sumber tertulis yang sangat terbatas. Menurut tradisi lisan, penduduk yang pertama mendiami daerah tersebut adalah orang Batak yang mereka kaitkan dengan keberadaan nama topografi suatu tempat seperti Guha Batak di pedalaman Blangpidie. Koloni orang Batak itu dikalahkan oleh para pendatang baru yang berasal dari Sumatera Barat maupun dari daerah Aceh sendiri.Suku Minangkabau dari Sumatera Barat bermigrasi ke daerah itu yang diperkirakan terjadi pada bagian kedua abad ke-17, karena semenjak Belanda menduduki Sumatera Barat melalui Traktat Painan tahun 1663, orang Aceh yang sebelumnya mengontrol daerah tersebut dan orang Minangkabau yang tidak mau tunduk kepada Belanda merantau ke pantai Barat Aceh. Sebagian di antara mereka ada yang membangun koloni di Susoh dan sebagian lainnya di Meulaboh atau di tempat lain.
Bersamaan dengan itu, daerah tersebut didatangi pula orang Aceh yang berasal dari Aceh Besar dan Pidie dengan maksud membuka perkebunan (seuneubok) lada yang hingga awal abad ke-19 merupakan tanaman ekspor penting di Aceh.
Koloni Minangkabau dan Aceh itu membangun komunitas mereka terutama pada muara-muara sungai setempat, antara lain Lama Tuha, Kuala Batu, Susoh, Suak, Lhok Pawoh dan Pasi Manggeng. Lambat laun pemukiman itu berubah menjadi suatu pemerintahan lokal yang berdiri sendiri, tetapi berada di bawah lindungan Kerajaan Aceh Darussalam. Namun demikian, ada juga di antara mereka yang berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan berkat kegiatan perniagaan lada sebagaimana yang terjadi dilakukan Lebe Dafa di Susoh dan Datuk Besar di Manggeng pada permulaan abad ke-19. Datuk Besar yang konon kabarnya enggan membayar upeti kepada Sultan Aceh sehingga Sultan Alauddin Jauhar al-Alamsyah (1795-1824) cukup marah dan memutuskan berlayar sendiri untuk menyerang Datuk Besar di negeri Manggeng tersebut.
Aksi penertiban yang dilakukan oleh Sultan itu, bukan berarti bahwa kerajaan-kerajaan kecil itu secara mutlak dapat dikontrol oleh pusat kerajaan di Bandar Aceh Darussalam. Di daerah ini misi dagang Inggris, Amerika dan Belanda dapat secara leluasa memasuki pelabuhan-pelabuhan di pantai Barat Daya pada permulaan abad ke-19. Sebagaimana yang dilakukan oleh John Anderson yang pernah menyinggahi pelabuhan Manggeng, Susoh, Kuala Batu dan Seumayam.

Meneropong Kerukunan Di Kabupaten Dua Bahasa

JIKA pertama kali anda berkunjung ke Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), tentunya anda akan merasa heran mendengar dialek dan bahasa yang digunakan oleh warga setempat. Betapa tidak, Abdya yang merupakan kabupaten pemekaran dari Aceh Selatan ini memiliki dua bahasa yang berbeda, yaitu, bahasa Aneuk Jamee (bahasa Minangkabau) dan bahasa Aceh dialek Padang. Masyarakat yang hidup dengan asal-usul etnis dan bahasa yang berbeda itu hingga kini masih tampak rukun dalam membina hubungan kemasyarakatannya. Sebab, perselisihan antaretnis itu tidak pernah terjadi di kabupaten berjulukan ‘Nageri Breuh Sigupai’ ini, kendati mereka berasal dari daerah dan suku yang berbeda.


Kerukunan antara sesama masyarakat itu sudah dari dahulu terbina dan dipupuk oleh putra-putri Nageri Perantauan itu. Bahkan warga pendatang yang menetap di daerah tersebut juga sama-sama berperan serta menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat serta sama-sama memiliki tanggungjawab terhadap kemajuan daerah dan tempat mereka berdomisili itu. Bak falsafah Minangkabau, Dimano bumi dipijak, di sinan langik (baca langit) dijunjuang. Dimano sumue digalie, disinan aie disauak. Dimano nagari dihuni, disinan adaik dipakai. Ternyata falsafah yang lahir dari bahasa Minangkabua itu tidak saja diapresiasikan oleh masyarakat yang berbahsa aneuk jame. Namun masyarakat Abdya yang umumnya berasal dari Pidie dan sebagian Aceh Besar itu juga mengapresiasikan falsafah itu dalam kehidupan sehari-harinya.

Melukis Di Air

Pernahkan kalian mendengar ungkapan, ''Ibarat melukis di atas air''?, yang artinya sesuatu itu mustahil dilakukan. Jika dibayangkan saja, memang kelihatannya mustahil. Tapi, jangan berkecil hati dulu! Karena zaman sudah mulai berubah, hal yang tadinya mustahil kini menjadi tidak mustahil, alias bisa dibuktikan.



Teknik melukis dalam air sebenarnya sudah ditemukan semenjak 15 abad yang lalu, mereka adalah para seniman arab yang ahli dalam membuat kaligrafi. Nah, baru-baru ini di China, seorang seniman telah mendemokan kembali tentang bagaimana melukis dalam air.

Jeritan Sang Proklamator

Aku..
Berdiri tegak ditemani matahari yang tersepuh emas
Cahayanya yang tajam membakar kulitku
Bau amis merebak
menghembuskan melodi kepahitan
Namun aku tetap berdiri

Disini tampak jelas kulihat
Deretan gubuk reyot menghias kota
Kumpulan gelandangan tumpang tindih
Wajah mereka mengurat kesengsaraan
Mulut mereka menyemburkan hawa kemiskinan
Tangisan mereka merobek rongga hatiku
Pilu,menyayat jiwa
Tetapi,kalian tak peduli
Kalian hanya tertawa angkuh seraya meludahku

Abdya is Wonderful

Ini merupakan beberapa foto keindahan alam kabupaten abdya.banyak terdapat sungai dan pantai disana.Selamat menyaksikan...

Sekolah Lama ku dan Si Jago Merah

Aku jadi teringat peristiwa yang menakutkan itu.Ya... Peristiwa ketika sekolahku yang dulu di makan si jago merah.Melihat kondisi setelah kebakaran,aku menjadi hilang kemauan untuk sekolah disitu.Namun,aku tidak boleh jadi orang munafik.Bagaimanapun kondisinya,tempat itu merupakan tempat yang terbaik utnukku dan tak pernah kulupakan.Berikut beritanya....

Open Your Eyes

Look around yourselves
Can't you see this wonder
Spreaded infront of you
The clouds floating by
The skies are clear and blue
Planets in the orbits
The moon and the sun
Such perfect harmony
Let's start question in ourselves
Isn't this proof enough for us
Or are we so blind
To push it all aside...
No...
We just have to
Open our eyes, our hearts, and minds
If we just look bright to see the signs
We can't keep hiding from the truth