It's me and only me

All of stories,experiences and simphony will be posted here.

Meneropong Kerukunan Di Kabupaten Dua Bahasa

JIKA pertama kali anda berkunjung ke Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), tentunya anda akan merasa heran mendengar dialek dan bahasa yang digunakan oleh warga setempat. Betapa tidak, Abdya yang merupakan kabupaten pemekaran dari Aceh Selatan ini memiliki dua bahasa yang berbeda, yaitu, bahasa Aneuk Jamee (bahasa Minangkabau) dan bahasa Aceh dialek Padang. Masyarakat yang hidup dengan asal-usul etnis dan bahasa yang berbeda itu hingga kini masih tampak rukun dalam membina hubungan kemasyarakatannya. Sebab, perselisihan antaretnis itu tidak pernah terjadi di kabupaten berjulukan ‘Nageri Breuh Sigupai’ ini, kendati mereka berasal dari daerah dan suku yang berbeda.


Kerukunan antara sesama masyarakat itu sudah dari dahulu terbina dan dipupuk oleh putra-putri Nageri Perantauan itu. Bahkan warga pendatang yang menetap di daerah tersebut juga sama-sama berperan serta menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat serta sama-sama memiliki tanggungjawab terhadap kemajuan daerah dan tempat mereka berdomisili itu. Bak falsafah Minangkabau, Dimano bumi dipijak, di sinan langik (baca langit) dijunjuang. Dimano sumue digalie, disinan aie disauak. Dimano nagari dihuni, disinan adaik dipakai. Ternyata falsafah yang lahir dari bahasa Minangkabua itu tidak saja diapresiasikan oleh masyarakat yang berbahsa aneuk jame. Namun masyarakat Abdya yang umumnya berasal dari Pidie dan sebagian Aceh Besar itu juga mengapresiasikan falsafah itu dalam kehidupan sehari-harinya.

Al-hasil kerukunanpun terus terbina, rasa persaudaraanpun terus terpukuk, sehingga terciptalah negeri yang rukun dan tentran dengan jiwa kebersamaan dalam membangun negeri yang belum seabad adanya itu. Berdasarkan cerita rakyat, Abdya itu pertama kali ditempati oleh warga Pidie, kemudian hadir warga Minangkabau yang menempati kawasan pesisir Susoh. Waktu demi waktu berjalan saudagar dan warga yang berasar dari Aceh Besar juga terus berdatangan kedaerah itu, yang akhirnya melahirkan bahasa Aceh persi Pidie dan Aceh Besar dengan dialek Minangkabau. Tak bisa dipungkiri, penduduk Aceh Besar yang baru menetap di Abdya juga cepat bersosialisasi dengan masyarakat setempat, begitu juga dengan pendatang baru dari kabuapten lain, seperti Aceh Timur, Aceh Utaran dan waga keturunan tionghoa. Mereka juga cepat menyatu dan merasa sama-sama memiliki terhadap kabupaten yang kini dipimpin oleh Akmal Ibrahim itu.

Rasa memiliki, jiwa kebersamaan, sikap sopan, dan hubungan persaudara terus dipupuk di nergri itu, sehingga tali persaudaran menjadi acuan bagi rakyat setempat dalam membangun negeri yang baru beberapa tahun dimekarkan dari Kabupaten Aceh Selatan itu. Bahkan sejarah juga mencatat bahwa Abdya itu umumnya berasal dari warga pendatang yang kemudian berdomilili dan membentuk satu pemukiman yang utuh dan kuat tali persaudaraan. Beragamnya asal-usul, bahasa dan budaya di daerah ini tidak membuat masyarakat berbeda pandang untuk membangun Abdya. Jikapun ada perselisihan dalam kehidupan, masyarakat dapat menyelesaikan secara arif dengan menjunjung tinggi aturan agama dan adat istiadat.(taufik zas)

Sumber : http://aceh.tribunnews.com/news/

0 komentar:

Posting Komentar